Halaman

Senin, 26 Desember 2011

Mungkinkah Syi’ah dan Sunnah Bersatu ? (bag 6)



Di Antara Anak Ali bin Abi Tholib Adalah Abu Bakar, Umar & Utsman
Di antara bentuk kasih sayang Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib kepada saudara-saudaranya ketiga kholifah sebelumnya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua beliau wujudkan dengan memberi nama anak-anak beliau setelah Al Hasan dan Al Husain dengan nama-nama mereka.
Di antara anak sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu ialah anak lelaki yang ia beri nama “Abu Bakar”, dan lainnya diberi nama “Umar” dan lainnya diberi nama “Utsman”. Beliau juga menikahkan putrinya Ummu Kultsum yang terbesar dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu [11]. Dan sepeninggal beliau, ia dinikahi oleh saudara sepupunya, yaitu Muhammad bin Ja’far bin Abi Tholib, kemudian iapun meninggal sebelumnya, dan kemudian ia dinikahi oleh saudara lelaki Muhammad, yaitu ‘Aun bin Ja’far, kemudian Ummu Kultsum meninggal dunia sebagai istri beliau.

Al Kulaini (salah seorang pentolan Syi’ah -ed muslim) menyebutkan sebuah hadits dari Zurarah dari Abu Abdillah ‘alaihissalaam perihal pernikahan Ummu Kultsum, ia berkata: “Sesungguhnya itu adalah kemaluan yang telah dirampas dari kami.” Silahkan baca Al Kafi dalam bab: Furu’ juz 2 halaman 141, edisi India.
Bahkan At Thusi dalam bukunya, “Tahzibul Ahkaam” juz 2 halaman 380 menyebutkan bahwa Ummu Kultsum dan putranya yaitu Zaid bin Umar bin Al Khatthab meninggal dunia dalam pada waktu yang sama, sehingga masing-masing dari mereka berdua tidak saling mewarisi. Maka bagaimana sebagian buku tersebut mengingkari fakta pernikahan, kemudian mendatangkan riwayat-riwayat murahan tentang jin perempuan atau mereka menyerahkan kepada Umar bin Al Khatthab wanita lain yang menyerupainya!!
Dan sahabat Abdullah bin Ja’far (Ja’far dijuluki dengan Zil Janahain) bin Abi Tholib menamakan salah seorang putranya dengan nama “Abu Bakar”, dan menamakan anaknya yang lain dengan nama “Mu’awiyah”. Dan Mu’awiyah ini, yaitu bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Tholib telah menamakan salah seorang putranya dengan nama “Yazid”[12]. Hal ini beliau lakukan, karena beliau mengetahui bahwa Yazid berperilaku baik nan terpuji, sebagaimana yang dipersaksikan oleh Muhammad bin Ali bin Abi Tholib. (Muhammad bin Ali bin Abi Tholib lebih dikenal dengan Muhammad bin Al Hanafiyyah -pent)
Seandainya sikap berlepas diri yang menjadi tuntutan sekte Syi’ah sebagai tumbal terealisasinya “pendekatan” antara kita dengan mereka mencakup seluruh tokoh-tokoh yang mereka kehendaki, niscaya orang pertama yang berlaku salah ialah imam pertama mereka Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang telah menamakan putranya dengan nama: Abu Bakar, Umar dan Utsman. Dan lebih besar lagi kesalahan beliau di saat beliau menikahkan putrinya dengan sahabat Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Demikian juga Muhammad bin Al Hanafiyyah telah berdusta pada persaksiannya tentang Yazid, yaitu tatkala datang kepadanya Abdullah bin Muthi’ salah seorang tangan kanan Ibnu Zubair, kemudian ia mengaku bahwa Yazid biasa minum khamer, meninggalkan sholat, dan melanggar hukum Al Quran, maka Muhammad bin Ali bin Abi Tholib berkata kepadanya -sebagaimana diriwayatkan dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah 8/233:
“Aku tidak pernah melihat apa yang kalian sebut-sebut itu, padahal aku pernah hadir di majelisnya dan juga tinggal bersamanya. Yang aku saksikan ia senantiasa rajin menunaikan sholat, berupaya melakukan kebaikan, bertanya tentang ilmu fikih, dan senantiasa berpegang teguh dengan sunnah…” Mendengar yang demikian, Ibnu Muthi’ (dan kawan-kawannya -pent) berkata: “Sesungguhnya ia berperilaku demikian, dalam rangka berpura-pura di hadapanmu.” Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Memangnya apa yang ia takutkan atau yang ia harapkan dariku, sampai-sampai ia merasa perlu untuk berpura-pura khusyu’ di hadapanku? Apakah ia memperlihatkan kepada kalian perbuatan yang kalian sebut-sebut, yaitu berupa minum khamer? Seandainya ia memperlihatkannya kepada kalian, maka kalian adalah sekutunya! Dan bila ia tidak pernah memperlihatkannya kepada kalian, maka tidak halal bagi kalian untuk bersaksi dengan sesuatu yang tidak kalian ketahui.” Mereka pun menjawab: “Berita ini bagi kami adalah benar, walaupun tidak kami saksikan sendiri.” Maka Maka Muhammad bin Al Hanafiyyah menjawab: “Allah tidak menerima metode semacam ini dari orang yang hendak bersaksi, oleh karenanya Allah berfirman:
إلاَّ من Ø´َÙ‡ِدَ بالحقِّ وهم يعلَمون
“Kecuali orang-orang yang bersaksi dengan benar, sedangkan mereka benar-benar mengetahui.” (QS. Az Zukhruf: 86), dan aku tidak ikut andil dalam urusan kalian sedikit pun.”
Bila demikian ini persaksian salah seorang putra Ali bin Abi Tholib tentang Yazid, maka akan kita sembunyikan ke manakah fenomena ini bila kita menuruti keinginan sekte Syi’ah dalam menyikapi beliau dan juga ayahnya (yaitu sahabat Mu’awiyyah radhiallahu ‘anhu), dan juga kepada orang yang lebih utama dari ayahnya dan juga lebih utama dibanding makhluk Allah lainnya, maksud saya ialah sahabat Abu Bakar, Umar, Utsman, Tholhah, Az Zubair, Amr bin Al ‘Ash dan seluruh tokoh sahabat yang telah menjaga Kitabullah dan Sunnah Rasulullah untuk kita. Sebagaimana mereka telah mewujudkan dunia islam ini yang dengannya dan untuknya kita hidup, semoga Allah senantiasa meridhoi mereka semua.
Sesungguhnya tebusan yang dituntut oleh sekte Syi’ah guna merealisasikan “pendekatan” antara kita dan mereka terlalu mahal, mengakibatkan kita kehilangan segala sesuatu serta tidak mendapatkan apa-apa. Dan hanya orang dungulah yang sudi untuk bertransaksi dengan orang yang menginginkan darinya suatu perniagaan yang padanya ia nyata-nyata merugi!!
Sesungguhnya loyalitas dan pelepasan diri (al bara’) yang merupakan asas agama sekte Syi’ah, sebagaimana yang ditegaskan oleh An Nushair At Thusi, dan dikuatkan oleh Ni’matullah Al Musawi serta Al Khunisari tidak ada penjabarannya selain perubahan agama Islam serta permusuhan terhadap para tokoh yang di atas pundak merekalah negeri Islam berhasil ditegakan.
Sungguh mereka bertiga telah berdusta pada anggapan mereka bahwa sekte mereka adalah satu-satunya sekte yang menyelisihi ajaran kelompok lain, sesungguhnya sekte Isma’iliyyah menyerupai mereka. Sekte Isma’iliyyah menyelisihi umat Islam dalam hal-hal yang juga diselisihi oleh sekte Syi’ah Imamiyyah, selain pada hal penentuan sebagian figur keluarga/keturunan Nabi (ahlul bait) yang mereka berloyal kepadanya.
Sekte Syi’ah Imamiyah berloyal kepada seluruh figur yang diloyali oleh sekte Isma’iliyyah hingga pada Ja’far As Shadiq, dan kemudian mereka berbeda tentang figur imam setelahnya.
Sekte Imamiyyah berloyal kepada Musa bin Ja’far beserta keturunannya, sedangkan sekte Isma’iliyyah berloyal kepada Isma’il bin Ja’far beserta keturunannya.
Sikap ekstrem yang ada pada sekte Isma’iliyyah semenjak masa Isma’il dan setelahnya telah dijiplak oleh sekte Imamiyyah sejak masa dinasti As Safawiyyah, sehingga mereka pun terjerumus ke dalam jurang di bawah kepemimpinan Al Majlisi dan para kaki tangannya. Bila kelompok ekstrem dari sekte Syi’ah pada zaman dahulu merupakan minoritas, akan tetapi setelah itu hingga saat ini mereka menjadi mayoritas, mereka semua adalah ekstrem Syi’ah Imamiyyah tanpa terkecuali. Fakta ini telah diakui oleh tokoh terkemuka mereka dalam hal ilmu Al Jarh wa At Ta’dil, yaitu Ayatullah Al Maamiqaani pada setiap kali ia menyebutkan biografi tokoh-tokoh ekstrem Syi’ah terdahulu. Ia mengumandangkan pada setiap kesempatan untuk membahas permasalahan ini dalam buku besarnya, bahwa: segala hal yang menjadi penyebab orang-orang ekstrem dianggap ekstrem, maka pada zaman ini menurut seluruh penganut paham Syi’ah sebagai bagian dari hal-hal yang prinsip/mendasar dalam paham Syi’ah!!
Dengan demikian, sikap ekstrem yang dahulu menjadi faktor pembeda antara sekte Isma’iliyyah dengan Syi’ah, sekarang dengannya mereka bersatu, tiada perbedaan antara mereka selain dalam hal figur-figur yang dituhankan oleh masing-masing mereka, atau dianggap kedudukannya melebihi kedudukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam . Beliau yang oleh sekte Imamiyyah melalui lisan Muhammad Hasan Al Asytiyaani diperbolehkan untuk tidak dipercayai dalam hal-hal gaib, misalnya tentang penciptaan langit dan bumi, dan karakteristik Surga dan Neraka. Pada saat bersamaan mereka menisbatkan kepada imam-imam mereka dan kepada imam mereka “kedua belas” berbagai hal yang menjadikan mereka sederajat dengan berbagai sesembahan bangsa Yunani Kuno.
Sesungguhnya pendekatan antara berbagai kelompok umat Islam dengan berbagai kelompok sekte Syi’ah adalah suatu hal yang mustahil tercapai, dikarenakan sekte Syi’ah menyelisihi seluruh umat Islam dalam hal prinsip, sebagaimana yang telah diproklamirkan oleh An Nushair At Tushi Dan dibenarkan oleh Ni’matullah Al Musawi dan Baqir Al Khunisari, dan juga dibenarkan oleh setiap anggota sekte Syi’ah. Bila ini telah terjadi pada zaman An Nushair At Thusi, maka hal ini sejak zaman Al Majlisi hingga sekarang menjadi lebih parah dan lebih dahsyat!!.
Tidak diragukan lagi bahwa Sekte Syi’ah lah yang tidak rela dengan adanya pendekatan, oleh karena itu mereka berkorban dan mengeluarkan dana besar guna mempropagandakan “pendekatan” di negeri kita, sedangkan mereka enggan dan tidak rela bila hal tersebut disuarakan atau berjalan walau hanya selangkah di negeri Syi’ah, atau berpengaruh pada kurikulum sekolah-sekolah mereka.
Oleh karena itu upaya apa saja guna merealisasikan hal ini akan sia-sia bak permainan anak-anak, tidak ada gunanya, kecuali bila sekte Syi’ah sudi untuk berhenti dari mengutuk Abu Bakar dan Umar -semoga Allah senantiasa meridhoi keduanya-, serta tidak lagi berlepas diri dari setiap orang di luar anggota sekte Syi’ah sejak wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam  hingga hari Kiamat. Dan juga bila sekte Syi’ah telah berhenti dari ideologi pengkultusan para imam ahlul bait sampai-sampai melebihi martabat orang shaleh hingga mencapai martabat sesembahan bangsa Yunani. Karena ini semua merupakan tindak kejahatan terhadap agama Islam, dan perubahan arah agama Islam dari jalur yang telah digariskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  dan para sahabatnya yang mulia, di antaranya oleh sahabat Ali bin Abi Tholib beserta anak keturunannya semoga Allah senantiasa meridhoi mereka.
Bila Sekte Syi’ah tidak meninggalkan kejahatannya terhadap agama, aqidah dan sejarah Islam ini, maka mereka akan terkucilkan bersama ideologi mereka yang nyata-nyata menyelisihi seluruh prinsip umat islam, dan dijauhi oleh seluruh umat Islam untuk selama-lamanya
Ada suatu fenomena yang telah kami isyaratkan sebelumnya pada makalah ini secara singkat, yaitu sesungguhnya kaum komunis yang telah merajalela di Irak dan yang tergabung dalam Partai Tawaddah (Partai Kasih Sayang) di Iran yang memiliki peranan lebih besar bila dibanding peranan mereka di negeri-negeri Islam lainnya, sebenarnya merupakan sempalan dari sekte Syi’ah, sehingga kaum komunis di dua negeri tersebut terdiri dari generasi muda sekte Syi’ah!! Mereka mendapatkan paham Syi’ah terlalu tenggelam dalam khurafat, kehinaan, dan kedustaan yang tidak masuk akal, sehingga mengakibatkan mereka mengingkari paham tersebut! Pada saat yang bersamaan mereka mendapatkan organisasi-organisasi Komunis gencar dijajakan oleh para penyerunya, dan menebarkan berbagai tulisan dalam berbagai bahasa. Dan kaum komunis dalam menjajakan paham mereka menempuh metode ilmiah dalam hal perekonomian, sehingga dengan mudah mereka terperangkap dalam jeratnya. Seandainya kaum muda sekte Syi’ah mengenal ajaran agama Islam dengan murni dan kemudian mereka mengajinya tanpa dinodai oleh paham Syi’ah, niscaya mereka akan terlindung dari terjerumus ke dalam jurang komunis tersebut.
Tatkala terjadi tragedi fitnah “Al Bab/pintu” di Iran sebelum seratus tahun silam, dan Ali Muhammad As Syairazi mengaku sebagai pintu penghubung kepada Al Mahdi yang mereka nanti-nantikan, kemudian ia secara bertahap mengaku sebagai Imam Mahdi yang mereka nanti-nantikan, dan ia berhasil merekrut pengikut dari kaum Syi’ah Iran. Pemerintah Iran kala itu lebih memilih untuk mengasingkannya ke Azerbejan, dikarenakan Azerbejan adalah pusat kaum Sunni dari para penganut mazhab Hanafi. Dikarenakan mereka adalah kaum sunni, sehingga mereka memiliki kekebalan dari terjerumus ke dalam jurang kenistaan, dan khurafat yang diilhami dari paham Syi’ah tersebut.
Oleh karena kaum Syi’ah dengan mudah terpedaya dengannya dan dengan mudah mereka memenuhi seruan “Al Bab” karenanya Pemerintah Iran enggan untuk mengasingkannya ke negeri yang menganut paham Syi’ah, disebabkan para penganut Syi’ah telah terdidik untuk menerima kepalsuan semacam ini, sehingga akan semakin banyak pengikutnya dan semakin besar fitnah tersebut.
Sebagaimana paham Syi’ah pada abad lalu telah menjadi biang menyebarnya berbagai paham yang serupa dengannya, misalnya seruan orang-orang yang mengaku sebagai “Al Bab” dan sekte “Baha’iyah”, demikian juga paham Syi’ah pada zaman sekarang telah menjadi biang munculnya sikap anti pati di tengah-tengah kaum terpelajar dari generasi mudah kaum Syi’ah yang mulai sadar. Ini semua terjadi karena paham Syi’ah terlalu hina sehingga tidak layak untuk diyakini oleh orang yang berakal sehat. Akibatnya mereka pun murtad dari paham Syi’ah dan bergabung dengan kaum Komunis yang dengan tangan terbuka menerima mereka. Sehingga dalam waktu singkat kaum Komunis telah memiliki pengikut di Irak dan Iran, dan jumlah mereka jauh lebih banyak bila dibanding dengan jumlah mereka di negeri-negeri islam lainnya yang menganut paham sunni.
Inilah yang dapat kami paparkan pada kesempatan ini, sebagai upaya kami untuk menjalankan kewajiban yang telah Allah letakkan pada bahu-bahu umat Islam, berupa kewajiban memberikan nasihat kepada Allah, Rasul-Nya, kalangan tertentu dari umat islam dan masyarakat umum mereka. Dan Allah akan senantiasa menjaga agama-Nya dan negeri Islam dari upaya penghancuran musuh dan makar mereka hingga hari Kiamat.
Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmushshalihaat.





[1] Bantuan semacam ini sepanjang sejarah telah mereka lakukan berulang kali, dan berkat para da’i yang mereka utus dengan misi inilah, selatan Irak berubah dari negeri Sunni yang terdapat padanya minoritas Syi’ah menjadi negeri Syi’ah yang padanya terdapat minoritas kaum Sunni. Dan pada masa Jalaluddin As Suyuthi, ada seorang da’i Syi’ah yang datang dari Iran ke Mesir, dan orang inilah yang diisyaratkan oleh As Suyuthi dalam kitabnya yang berjudul “Al Hawi Lil Fatawi”, cet Percetakan Al Muniriyyah jilid 1 Hal. 330. Disebabkan oleh da’i asal Iran tersebutlah As Suyuthi menuliskan karyanya yang berjudul “Miftahul Jannah Fil I’itisham Bissunnah.”
[2] At Taqiyyah ialah seseorang menampakkan sikap yang tidak sesuai dengan isi batinnya. Mereka dalam hal ini berdalilkan dengan beberapa hadits, di antaranya hadits yang mereka sebut-sebut dari Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu yang pada hadits ini -menurut anggapan mereka- beliau berkata: “At Taqiyyah termasuk amalan seorang mukmin yang paling utama, dengannya ia menjaga diri dan saudaranya dari tindakan orang-orang jahat.” (Baca: Tafsir Al Askari, hal: 162 Pustaka Ja’fary, India).
[3] Kelanjutan surat ini -sebagaimana dapat anda lihat pada halaman selanjutnya- sebagai berikut: “Seorang Nabi dan wali sebagian mereka dan sebagian lainnya adalah sama, sedangkan Aku adalah Yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengenal. Sesungguhnya orang-orang yang memenuhi janji Allah, mereka akan mendapatkan surga yang penuh dengan kenikmatan. Sedangkan orang-orang yang bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mereka mendustakan ayat-ayat Kami, sesungguhnya mereka akan mendapatkan kedudukan yang besar dalam neraka Jahanam. Bila diseru kepada mereka: Manakah orang-orang yang berbuat lalim lagi mendustakan para rasul: apa yang menjadikan mereka menyelisihi para rasul?? melainkan dengan kebenaran, dan tidaklah Allah akan menampakkan mereka hingga waktu yang dekat. Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sedangkan Ali termasuk para saksi.”
[4] Salah seorang ulama’ terkemuka Syi’ah Agha Buzurk At Thohrany, penulis ensiklopedia Syi’ah yang telah masyhur “Az Dzari’ah Ila Tashonif As Syi’ah” menuturkan dalam bukunya: “Thobaqaat A’alaam As Syi’ah”, bagian kedua dari juz pertama, yang lebih dikenal dengan judul: “Nuqaba’ Al Basyar Fi Al Qarni Ar Rabi’ ‘Asyar”, pada hal: 544, cetakan Pustaka Al Ilmiah Najef 1375 H-1956 M, ia berkomentar tentang An Nury At Thobarsy: “Ia adalah pemuka para imam ahli hadits dan rijal (biografi ulama’) pada generasi terakhir, dan termasuk ulama’ terkemuka Syi’ah, dan tokoh Islam terkemuka pada abad ini.”
[5] Yang dimaksudkan oleh Abu Manshur At Thobarsy dengan sebutan munafik ialah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengumpulkan teks-teks Al Quran, dan yang diamalkan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib sepanjang masa khilafahnya. Seandainya kisah palsu yang ia rekayasa dalam bukunya “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” atas nama sahabat Ali benar-benar diucapkan oleh sahabat Ali radhiallahu ‘anhu, maka ini merupakan pengkhianatan beliau terhadap agama Islam, sebab ia menyimpan sepertiga Al Quran yang hilang dan ia tidak berusaha memunculkannya, tidak juga mengamalkannya tidak juga memerintahkan masyarakat untuk mempelajarinya, minimal semasa khilafahnya, padahal tidak ada alasan yang menghalanginya untuk melakukan hal itu. Ia menyembunyikan bagian dari Al Quran sebanyak ini dalam keadaan rela dan tanpa paksaan merupakan kekufuran, bila ucapan ini benar-benar beliau yang menuturkannya. Dari sini anda dapat mengetahui bahwa Abu Manshur At Thobarsy penulis buku “Al Ihtijaaj ‘Ala Ahli Al Lijaj” dengan bukunya ini telah mencela sahabat Ali sendiri, dan ia menyebutnya telah berkhianat dan kafir, sebelum ia mencela sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain dan menyifati mereka dengan kemunafikan.
[6] Doa ini juga dimuat dalam buku “Tuhfatul Awam Maqbul” yang memuat tanda tangan Ayatullah Al Khumaini, Ayatullah Syariatmudari, Ayatullah Abul Qasim Al Khu’i, Sayyid Muhsin Al Hakim At Thobathoba’i……dll, padahal dari mereka itu terdapat orang-orang yang dikatakan moderat, di antaranya Ayatullah Al Khu’i dan Sayyid Muhsin Al Hakim.
[7] Mengapa hal ini tidak pernah dilakukan oleh kakeknya, yaitu sahabat Ali bin Abi Tholib radhiallahu ‘anhu selama ia menjabat sebagai kholifah? Apakah cucunya yang ke dua belas lebih besar pengorbanannya demi Al Quran dan agama Islam?
[8] Nabi Daud ‘alaihissalam adalah salah seorang nabi-nabi Umat Yahudi. Bila Nabi Musa ‘alaihissalaam hidup sekarang ini, ia akan beragama dengan agama Islam dan berhukum dengan hukum Islam, bukan dengan hukum Taurat atau hukum nabi Daud -hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Al Baihaqy dll- mengapa para Imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum Nabi Daud?! Dan bila Nabi ‘Isa ‘alaihissalam ketika turun kembali ke dunia kelak sebelum hari kiamat juga berhukum dengan hukum Al Quran, -sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Bukhari dan Muslim- dan bukan dengan hukum nabi Daud, mengapa para imam sekte Syi’ah justru berhukum dengan hukum keluarga Daud?! Bukankah ini merupakan indikasi kuat bahwa sebenarnya sekte Syi’ah hendak menghidupkan agama nabi Daud ‘alaihi salam yaitu agama Yahudi di tengah-tengah masyarakat Islam??!! (pent-)
[9] Suatu kelaziman atas kita untuk mengisyaratkan di sini, bahwa cucu Holako Khan, yaitu Sultan Gazaan, tatkala datang pada tahun 699 H untuk menguasai negeri Syam, yang menjabat sebagai perdana menterinya ialah cucu pembela kekufuran At Thusi yang bernama Ashiluddin At Thusi. Gazaan melakukan berbagai kekejaman di kota Damaskus, memerkosa, menumpahkan darah, dan mencuri kitab-kitab ilmu. Hingga akhirnya Allah ta’ala memudahkan bagi Al Imam Al Mujahid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam memimpin umat Islam melawan diktator ini, dan kemudian Allah melimpahkan kemenangan atas beliau pada peperangan Syaqhab yang telah masyhur dan yang terjadi pada tahun 701 H.
[10] Dan terowongan ayahnya -seandainya memang benar bahwa ayahnya memiliki terowongan- maka para pengikut sekte Syi’ah tidak mungkin untuk memasukinya, karena terowongan tersebut berada di kekuasaan Ja’far saudara kandung Al Hasan Al ‘Askari, dan ia meyakini bahwa saudara kandungnya yaitu Al Hasan tidak memiliki anak lelaki, tidak di dalam terowongan fiktif tersebut juga tidak di luarnya. Dan bila ia bersembunyi di berbagai terowongan!!! maka mana mungkin mereka dapat menemukannya…
[11] Di antara lelucon adalah: bahwa sebagian buku Syi’ah mengingkari pernikahan sahabat Umar bin Al Khatthab dengan putri Ali Bin Abi Tholib. Bahkan mereka menyebutkan bahwa Ali dan keluarga menyerahkan kepada Umar wanita lain yang dirubah wajahnya menyerupai Ummu Kultsum… Lelucon ini seperti dinyatakan dalam pepatah: “Maksud hati mereka ingin meriasnya dengan celak, akan tetapi mereka malah menjadikan matanya buta!!”. Sepeninggal Umar bin Al Khatthab setelah ditikam oleh Abu Lulu’ah Al Majusi, apakah saudara sepupunya Muhammad bin Ja’far menikahi Ummu Kultsum yang sebenarnya ataukah menikahi wanita yang diubah wajahnya?! Demikian juga tatkala Muhammad bin Ja’far meninggal, apakah saudara kandungnya yaitu ‘Aun menikahi Ummu Kultsum ataukah wanita lain yang menyerupainya!?
[12] Analisa ini perlu dikaji ulang; karena belum terbukti bahwa Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far bin Abi Tholib menamakan putranya dengan sebab mengharapkan agar anaknya menjadi seperti Yazid bin Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Sedangkan nama Yazid kala itu telah dikenal di masyarakat Arab, diantaranya panglima perang sekaligus sahabat mulia Yazid bin Abi Sufyan, paman Yazid bin Mu’awiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar